MAI: Penindakan Hukum Kasus PT IBU Jadi Momentum Melawan Kartel Pangan

By Admin


nusakini.com - Penindakan hukum terhadap kasus PT Indo Beras Unggul (IBU) menjadi momentum untuk melawan praktik kartel pangan sekaligus menata ulang struktur industri pangan khususnya perberasan nasional.

Ketua Umum Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) Fadel Muhamad mengatakan negara bersama masyarakat tidak boleh lengah dan harus terus waspada terhadap setiap gejala yang terjadi. Struktur industri perberasan harus kembali pada jalur yang tepat sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Terlebih, lanjutnya, beras merupakan pangan pokok yang menguasai hajat hidup rakyat, sehingga pengaturan dan pengawasan menjadi hal mutlak yang wajib dilakukan pemerintah.

Saat ini, Fadel menyebutkan struktur industri perberasan tengah mengalami ketimpangan dan akan semakin riskan jika tidak segera ditangani dengan baik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2012, terdapat 182 ribu penggilingan. Sebanyak 94% atau 173 ribu di antaranya adalah penggilingan kecil dan keliling dengan kapasitas giling kurang dari 1,5 ton beras per jam.

Lalu, sekitar 6.800 unit atau 5% merupakan penggilingan sedang dan sisanya, sebanyak 1% atau 2.000 unit penggilingan besar dengan kapasitas giling hingga di atas 3 ton per jam.

Bahkan, ia melanjutkan, ada lima perusahaan raksasa dengan fasilitas pabrik penggilingan beras terpadu (rice processing complex/RPC) berkapasitas sangat besar mencapai ratusan ribu ton beras per tahun.

"RPC unggul dalam efisiensi teknis dan ekonomis. Sementara, penggilingan kecil dan keliling tidak efisien secara teknis jadi tidak bisa bersaing," ujar Fadel.


Menurut catatan Persatuan Pengusaha Penggilingan Gabah dan Padi Indonesia Soetarto Alimoeso, kapasitas total penggilingan di seluruh Indonesia kini mencapai 200 juta ton gabah. Artinya, dengan produksi gabah nasional yang diklaim Kementerian Pertanian 79,3 juta ton per 2016, dipastikan terjadi persaingan sengit antarpenggilingan dalam menyerap gabah. Dapat dipastikan, pemenangnya adalah perusahaan kakap.

"Apabila ada kolusi di antara mereka, maka terjadi kartel beras. Bila itu berjalan bertahun-tahun, maka ibarat bola salju, menggulung kian besar dan menggurita. Hal ini tidak boleh terjadi dan harus diatur sejak sekarang," tegasnya.

Diprediksi, perusahaan-perusahaan raksasa juga akan mengalahkan Bulog dalam persaingan menyerap gabah petani sehingga pengendalian harga akan sulit dilakukan dan mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.

Guna membatasi ruang gerak para pemain besar, MAI menyarankan beberapa poin kepada pemerintah. Pertama, mengatur laju perkembangan RPC atau penggilingan padi besar (PPB) dengan mengatur cakupan (coverage) produksi gabah di kabupaten sekitar dari lokasi pabrik.

"Semestinya tidak boleh melakukan merger dengan perusahaan lain serta tidak boleh PMA hadir pada penggilingan padi, baik secara langsung maupun tidak langsung," ucap Fadel.

Kedua, penggilingan skala kecil direvitalisasi dan bermitra dengan Bulog. Ketiga, mengawasi ketat penggilingan kecil keliling, agar memenuhi standar kelayakan teknis dan efisiensi.

Yang terakhir, pemerintah harus mengatur harga beras dengan jenis jenisnya yang berbeda.

"Sehingga upaya menstabilkan harga dan memberikan perlindungan bagi kosnumen pun akan berjalan efektif," tandasnya.(p/ma)